Senin, 24 Desember 2012

Alat Musik Tradisional Jepang




Ciri khas musik tradisional Jepang yang perkembangannya terpaut erat dengan drama, tarian, dan kesenian lain, ialah lebih menonjolnya musik vokalnya daripada musik instrumentalnya. Hampir setiap malam kota-kota besar di Jepang menjadi tuan rumah bagi sejumlah besar pergelaran musik di ruang-ruang konser yang besarnya bervariasi, dari auditorium raksasa yang dapat memuat 2.000 orang sampai ruang-ruang yang lebih akrab dengan 100 kursi. Disamping musik klasik Barat (termasuk opera), konser rock, dan jazz, musik populer Jepang  selalu ramai dikunjungi, sampai penuh (full house). Sementara ini, musik tradisional Jepang masih terus dipergelarkan dan tetap mendapat tempat khusus di hati orang Jepang. Berdampingnya gaya Barat dan gaya tradisional Jepang memberikan dunia musik di Jepang dewasa ini suatu jalinan rumit yang mempesonakan yang tidak terlihat di Negara-negara Barat.

Macam-macam alat musik tradisional Jepang :
1.  Shakuhachi


Shakuhachi merupakan alat musik tradisional Jepang yang berbentuk seruling. Shakuhachi dibuat dari bambu, di bagian dekat akar, dengan diameter 3.5cm-4,0cm. Ada 5 lubang, 4 di bagian depan dan 1 di bagian belakang. Sisi dalam Shakuhachi digosok sampai halus, bahkan belakangan ini bagian dalamnya diolesi Shu-urushi (bahan pewarna alam berwarna merah) atau Kuro-urushi (bahan pewarna alam yang berwarna hitam), agar menghasilkan suara yang halus dan indah. Dulu, bagian mulut shakuhachi dipotong menyerong, tetapi sekarang pada bagian mulut dipasangi tanduk rusa atau kerbau supaya lebih kokoh. Shakuhachi merupakan seruling yang dapat menghasilkan warna suara yang bervariasi dan nada suara yang paling sensitif di antara seruling tradisional Jepang, baik seruling tiup samping (horizontal) maupun seruling tiup depan (vertikal). Oleh karena ciri khas itu Shakuhachi mempunyai posisi tersendiri di dalam alat musik tradisional Jepang.

             2. Shamisen

Shamisen adalah alat musik dawai asal Jepang yang memiliki tiga senar, dan dipetik menggunakan sejenis pick yang disebut bachi. Bentuk badan shamisen (disebut dō) dibuat dari kayu, berbentuk segiempat dengan keempat sudut yang sedikit melengkung. Bagian depan dan belakang dilapisi kulit hewan yang berfungsi memperkeras suara senar. Kulit pelapis shamisen adalah kulit bagian perut kucing betina yang belum pernah kawin. Sedangkan shamisen kualitas biasa dibuat dari kulit bagian punggung dari anjing. Shamisen yang dibuat kulit imitasi memiliki kualitas suara yang tidak bagus sehingga kurang populer.
Panjang shamisen hampir sama dengan gitar tapi leher (sao) lebih langsing dan tanpa fret. Leher shamisen ada yang terdiri dari 3 bagian agar mudah dibawa-bawa dan disimpan. Leher shamisen yang utuh dan tidak bisa dilepas-lepas disebut leher nobezao. Sutra merupakan bahan baku senar untuk shamisen. Tsugaru-jamisen yang berasal dari daerah Tsugaru ada yang memakai senar dari serat nilon atau tetoron. Senar secara berurutan dari kiri ke kanan (dari senar yang paling tebal) disebut sebagai ichi no ito (senar pertama), ni no ito (senar kedua), dan san no ito (senar ketiga).

                3.  Taiko


Taiko adalah alat musik tradisional Jepang yang berbentuk drum. Kata taiko berarti "drum besar" dalam bahasa Jepang. Di luar Jepang, kata ini digunakan untuk merujuk kepada berbagai jenis drum Jepang dan kepada bentuk seni yang relatif belakangan dalam bentuk ansambel menabuh drum (kadang-kadang lebih khusus disebut, "kumi-daiko". 
Nagado-daiko (taiko yang berbadan panjang) terdiri atas dua potong kulit sapi yang dibentangkan di atas sebuah kerangka kayu (biasanya diukir dari satu potong kayu, kini sering dibuat dari sisa-sisa sebuah gentong kayu) dan diregangkan. Kepala dari tsukeshime-daiko (seringkali disingkat menjadi, "shime-daiko" atau "shime" saja) dibentangkan di atas cincin-cincin besi dan dijepit di sekitar badan yang lebih kecil. Tali tsukeshime-daiko ditarik hingga ketat sebelum digunakan setiap kalinya. Okedo-daiko (taiko berbadan gentong, seringkali disingkat menjadi "okedo" atau "oke") dapat dipasang di atas sebuah dudukan dan dimainkan seperti taiko lainnya, tapi biasanya digantungkan melintang ke bahu sehingga si pemain drum dapat berjalan dan sekaligus juga memainkannya. Taiko Jepang lainnya mencakup uchiwa-daiko (taiko kipas), hira-daiko (taiko datar), o-daiko (taiko besar), dan serangkaian instrumen tabuh lainnya dalam ansambel tradisional Jepang noh, gagaku, dan kabuki. 
Drum okedo-daiko merentang dari yang kecil dan mudah dibawa, hingga drum yang paling besar dari semua drum Jepang. Berbeda dengan nagado, drum ini dapat dibuat dalam berbagai ukuran, namun tidak dalam segala ukuran mengingat konstruksi kayu stavenya. Wilayah Aomori terkenal akan festival Nebuta. Di sini okedo besar dimainkan oleh banyak orang sambil dibawa dengan kereta sepanjang jalan. Okedo mempunyai penopang betta-nya sendiri yang diciptakan oleh Hayashi Eitetsu. 
Selain itu, seperti nagado-daiko, okedo mempunyai suara pinggiran yang disebut "ka." Namun, ketika memainkan pinggiran sebuah okedo, penting bagi pemain untuk memukul hanya bagian yang palin luar dari cincin metalnya dan bukan pinggiran dari tubuh drum itu sendiri. Kayu tipis dan ringan dari okedo khususnya mudah penyok dan akan cepat menurun kondisinya bila dipukul. 

                4. Koto

Koto adalah alat musik yang menyerupai kecapi di Indonesia, disebutkan masuk ke Jepang sejak abad ke-7. Di masa itu, Koto dimainkan sebagai salah satu bagian musik Istana. Formasi Koto yang dimainkan sebagai alat musik tunggal, tanpa iringan alat musik lain, menjadi populer di masyarakat sejak abad 17.
Bagian badan terbuat dari “Kiri” atau kayu paulownia yang dilubangi bagian dalamnya. Koto memiliki 13 dawai karena Koto menggunakan 5 tangga nada maka dengan 13 dawai biasanya Koto dapat menghasilkan sekitar 2.5 oktaf. Antara bagian badan dan dawai ada “Ji” sebagai penyangga dawai. Jika “Ji’ digeser maka hasil suara pun berubah. Mengatur nada (tuning), yang merupakan persiapan dasar untuk permainan Koto, juga dilakukan dengan menggeser posisi “Ji”. Selain “Hirajoshi”, ada berbagai aturan nada (tuning) yang dikembangkan dari “Hirajoshi”.
Dengan menggunakan tangan kiri yang menekan dan menarik dawai, tangga nada dapat berubah atau pun menghasilkan suara bernuansa vibrato. Pada awalnya dawai dibuat dari sutera, tetapi zaman sekarang dawai juga menggunakan bahan lain seperti bahan sintetis. Pemain dapat menggunakan “Tsume” atau kuku palsu untuk 3 jari di tangan kanan. Pada dasarnya Koto dimainkan dengan menggunakan “Tsume” yang terkadang digunakan pada jari lain atau pun pada jari-jari di tangan kiri. Di dalam lagu Sokyoku terkadang ada juga suara nyanyian.
Koto memang dimainkan bukan untuk mengiringi nyanyian, tetapi suara nyanyian juga dianggap sebagai salah satu jenis alat musik. Dalam artian, alat musik dan suara sama-sama dianggap berperan penting untuk menghasilkan musik. Di Jepang, sejak zaman dahulu hingga saat ini Koto sering diibaratkan sebagai “Ryu” atau “Naga” sehingga bagian-bagian alat musik ini juga dinamai “Ryukaku” (tanduk Naga), “Ryukou” (mulut Naga), “Ryubi” (ekor Naga), dll. Di berbagai negara di Asia, naga dihormati seperti dewa dan dianggap sebagai mahluk mitos spiritual tinggi. Dengan demikian bisa dibayangkan bila Koto juga sangat dicintai oleh masyarakat Jepang.

1 komentar: